Bintang Puspayoga sebagai Menteri-PPPA kenaikan angka perkawinan di 18 propinsi perlu menjadi perhatian daerah untuk lebih berkomitmen dalam menurunkan angka perkawinan anak. Pada tahun 2018 angka nasional perkawinan anak 11,21% dan tahun 2019 sebesar 10,82%. Pada 2019 menunjukan 22 provinsi pernikahan anak lebih tinggi dari angka rata-rata nasional.
Menurut (Kemko-PMK) Muhadjir Effendy ” bahwa Ditjen Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung menerima lonjakan permintaan dispensasi nikah sebesar 300 persen pada 2020. Komnas perempuan juga merilis data bahwa 64.211 pernikahan usia anak pada tahun 2020, meningkat drastis dari 2019 yang hanya 23.126 kasus.”
Pernikahan anak merupakan hal yang sudah berlangsung lama di Indonesia / berkesinambungan pada masyarakat di Kota dan Daerah. Penyebab masih adanya pernikahan anak di Indonesia dari berbagai faktor seperti ekonomi, sosial, dan budaya. Namun yang menjadi faktor tertinggi adalah faktor ekonomi.
Ekonomi yang menjadi landasan orang tua menikahkan anaknya
Perekonomian yang dibawah rata-rata mendorong orang tua untuk menikahkan anaknya guna bermaksud menyejahterakan anaknya jika menikahkan dengan orang yang ekonomi baik. Perempuan yang dinikahkan oleh orang tuanya masih terbilang kurang dalam pendidikan. Kesadaran masyrakat mengenai pentingnya pendidikan masih rendah. Hal itu nampak dari sebagian besar masyarakat hanya lulusan Sekolah Dasar (SD) dan ada pula yang tidak lulus.
Kesinambungan pada jenjang pendidikan penyebab pernikahan anak.
Youtube Narasi Room yang berjudul ” Pernikahan Anak: Kalau tidak diubah, tujuh turunan begini terus” menjelaskan bahwa pernikahan anak di Jambi dikarenakan ekonomi yang berdampak pada pendidikan yang diambil oleh anak-anaknya. Narasumber Lia yang merupakan pelaku pernikahan anak ketika dia berumur 17 tahun. Lia menikah dengan status pendidikan yang hanya sampai kelas 3 SD. Namun dia mempunyai harapan bahwa cita-citanya bisa dilanjutkan oleh anaknya dengan jenjang lebih tinggi”. Hal ini merupakan ironis dari penyebab pernikahan anak di Indonesia masih bisa terus berlanjut dengan alih-alih ekonomi yang sulit sementara pendidikan yang tidak sejalan. Maka anak anak yang tidak mendapatkan pendidikan minimal SMA akan sulit mendapatkan lapangan pekerjaan. Oleh sebab itu, para anak pun mengikuti perkataan orang tua mereka demi menggantungkan harapan kepada sang suami dan meninggalkan cita-citanya.
Kebudayaan mengakar kuat sebagai kepercayaan pernikahan anak.
Budaya bisa pula mencerminkan setiap perilaku dan tindakan masyarakat untuk seluruh aspek-aspek kehidupan masyarakatnya. Aplikasi dari kebudayaan itu nampak dalam keseharian kehidupan mereka. Salah satunya juga nampak dalam ritual dan kepercayaan mereka pada suatu hal seperti pengaruh kepercayaan terhadap sebuah tali pernikahan. Masyarakat masih mempunyai adat dan kultur yang kuat dalam cara mereka menjalani kehidupannya. Hal tesebut mempengaruhi sebuah pernikahan yang lekat dengan masing-masing tradisi yang mengikat. Sebuah kewajaran untuk menikahkan anak yang masih dibawah umur.
Keputusan Orang tua merupakan mutlak.
Sosial masyarkat indonesia yang masih bersifat patriarkal dengan aturan bahwa aturan masih dipegang oleh kepala keluarga. Karena itu merupakan keputusan orang tua yang menganggap anak merupakan masih milik orang tua tanpa mempertanyakan kemauan anaknya. Sosok orang tua dapat dikatakan sebagai panutan dan memiliki posisi tertinggi pengambilan keputusan dalam keluarga. Berdasarkan hal tersebut sebuah acuan bahwa orang tua harus ditaati dan dipatuhi dalam kehidupan berkeluarga.
Mengatasi suatu permasalahan tentu harus diperlukan analisa yang baik agar menciptakan Solusi secara tepat. Terlebih lagi pernikahan anak sudah lama terjadi di Indonesia dengan waktu yang lama. Pemerintah sudah membuat berbagai madam solusi untuk menangani permasalahan tersebut. Mulai dari membuat regulasi yang berisi batasan usia dalam pernikahan, sosialisasi penyuluhan kepada orang tua di Desa/Kota, serta pendekatan secara Agama melalui ulama atau pemimpin Agama untuk bertausiah mengenai pernikahan.