Menurut World Health Organization(WHO), prevalensi balita stunting di dunia pada 2020 sebesar 21% atau sekitar 149 juta jiwa. Tak heran, stunting menjadi masalah utama kesehatan masyarakat global, yang berhubungan dengan gangguan fisik dan kognitif manusia. Stunting adalah kondisi kurang gizi yang menyebabkan anak menjadi terlalu pendek untuk usianya. Namun, bukan berarti setiap anak pendek mengalami stunting. Status gizi pada anak dengan kurang gizi kronis ini dinilai menurut tinggi badan dibagi umur dengan hasil nilai Zscore = <=-2 standar deviasi. Kondisi kesehatan yang tidak maksimal ini dapat disebabkan oleh banyak faktor.
Faktor Penyebab Balita Mengalami Stunting
Faktor penyebab balita dengan malnutrisi kronis berasal dari berbagai aspek, mulai dari masalah ekonomi, sosial, hingga faktor lingkungan. Upaya memenuhi kebutuhan gizi anak harus berjalan selaras dengan dukungan faktor lingkungan yang baik. Studi yang ditemukan oleh Dwan Vilcins et.al(2018), menunjukkan bahwa mikotoksin bawaan makanan, kurangnya sanitasi yang memadai, lantai tanah di rumah, bahan bakar memasak berkualitas buruk, dan pembuangan limbah yang tidak memadai dikaitkan dengan peningkatan risiko pengerdilan pada masa anak-anak. Maka dari itu, kegiatan edukasi dan promosi kesehatan akan lebih efektif ketika mempertimbangkan faktor lingkungan disamping intervensi gizi.
Faktor risiko lain yang juga dapat memicu anak tumbuh kerdil adalah kehamilan usia muda. Sejalan dengan penelitian Čvorović(2022), dari 64% wanita menikah sebelum usia 18 tahun terdapat 19% anak mengalami kekurangan gizi jangka panjang. Kehamilan di usia remaja juga dapat menyebabkan bayi lahir dengan prematur sehingga anak lahir dengan bobot rendah. Kondisi hamil di usia muda menyebabkan risiko bayi lahir dengan kerdil lebih tinggi karena umumnya si calon ibu belum memperoleh edukasi yang cukup mengenai kehamilan dan perawatan gizi bayi. Pola asuh ibu berkontribusi besar terhadap tingginya prevalensi balita kurang gizi kronis. Oleh karena itu, diperlukan upaya meningkatkan edukasi bagi para calon ibu tentang pola asuh yang benar untuk sang buah hatinya.
Lalu, Apa Upaya yang Bisa Dilakukan Untuk Mengentas Permasalahan Ini?
Menurut data Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) pada tahun 2021, prevalensi stunting di Indonesia sebesar 24,4%. Angka tersebut masih berada di atas standar yang ditetapkan oleh WHO. Namun pemerintah berhasil menurunkan sebesar 6,4% selama periode 5 tahun, yaitu dari 37,2%(2013) menjadi 30,8%(2018). Pemerintah Indonesia menjadikan stunting sebagai salah satu prioritas dari sekian banyak masalah lainnya, sebagaimana tertuang dalam RPJMN 2020-2024 yang mencanangkan penurunan kekerdilan menjadi 14 persen di 2024.
Stunting merupakan permasalahan kompleks yang bersifat multi dimensi. Tidak hanya harus diatasi oleh sektor kesehatan saja, melainkan harus melibatkan banyak stakeholders. Dampak jangka panjang kekerdilan pada anak ini menjadi malapetaka bagi suatu negara karena dapat menurunkan Produk Domestik Bruto sebesar 2-3 persen per tahun. Individu yang pada saat balita mengalami keterbelakangan pertumbuhan berpotensi berpenghasilan 20 persen lebih rendah. Maka dari itu, untuk menuju sumber daya manusia yang maju dan unggul, masyarakat harus bahu membahu menuntaskan problematika stunting dengan kerja keras.
Dalam Sustainable Development Goals(SDGs), penanganan stunting bagian dari perwujudan SDGs nomor 3 yaitu kehidupan sehat dan sejahtera. Pemerintah Indonesia menyusun Rencana Aksi Nasional Percepatan Penurunan Angka Stunting Indonesia (RAN-PASTI) yang dijadikan acuan penanganan stunting bagi pemangku kepentingan di berbagai tingkatan pemerintah. Sebagai generasi bangsa yang ingin berkontribusi untuk negara, mari bersinergi untuk menuntaskan masalah stunting diantaranya sebagai berikut.
1. Pola Asuh
Dalam upaya memenuhi tercukupnya gizi pada anak, tiga prioritas utama ini diharapkan mampu mendorong peningkatan laju anak mengalami kekerdilan.
a. Wajib ASI Eksklusif selama 6 bulan
Sesuai standar WHO, ASI Ekskusif setidaknya diberikan pada 6 bulan pertama. Program ASI eksklusif ini memastikan bayi mendapat kolostrum yang berperan penting meningkatkan kekebalan anak terhadap infeksi. Kandungan ASI merupakan perpaduan sempurna antara protein, lemak, karbohidrat, mineral, dan vitamin yang mudah dicerna dan diserap si kecil. Mengingat pentingnya ASI bagi perkembangan bayi, penyuluhan tentang pentingnya pemberian ASI eksklusif ini perlu dilakukan.
b. Ayah ASI
Ayah ASI adalah istilah yang diberikan pada para suami yang juga berperan penting pada proses ibu menyusui. Pada wanita menyusui, hormon prolaktin berfungsi merangsang produksi ASI. Ayah ASI hadir untuk mendampingi sang istri dalam pemberian ASI eksklusif. Bentuk dukungan yang dapat menentukan keberhasilan program tersebut mencakup tiga aspek, yaitu aspek fisik, finansial, dan emosional. Sang ayah bertugas membuat ibu merasa rileks dan meningkatkan hormon kebahagiaan sehingga dapat memacu hormon prolaktin terjaga dengan baik. Pentingnya kesadaran pasangan untuk tetap mendukung kelancaran ASI harus dipupuk sedari bayi masih dalam kandungan. Maka dari itu, sosialisasi bagi para ayah ASI juga tak bisa luput dari perhatian
c. Makanan Pendamping ASI (MPASI)
Selain berasal dari ASI, bayi membutuhkan gizi yang lebih kompleks pula seperti zat besi dan zinc. Sang ibu harus memiliki pengetahuan yang baik dalam mengolah MPASI supaya aman bagi si kecil. Untuk itu, edukasi terhadap orang tua agar dapat menyiapkan MPASI dengan baik sangatlah diperlukan.
2. Pola Makan
Perbaikan pola makan juga menjadi aspek krusial yang dapat menurunkan prevalensi stunting. Perlunya gizi seimbang dalam memberikan makanan pada anak harus diterapkan agar anak dapat bertumbuh dan berkembang dengan baik. Namun, seringkali masalah sosial dan ekonomi menghambat tercapainya gizi seimbang tersebut. Bagi anak-anak dalam masa pertumbuhan, memperbanyak sumber protein sangat dianjurkan (baik protein nabati maupun hewani).
3. Bekerjasama dengan Pemerintah Daerah(PEMDA) Setempat dalam Upaya Perbaikan Sanitasi dan Lingkungan
Faktor kebersihan lingkungan memiliki kaitan yang erat dengan permasalahan stunting. Penanganan kondisi kurang gizi kronis ini membutuhkan keterlibatan lintas sektoral secara kolaboratif. Oleh karena itu, perbaikan sanitasi dan pembangunan jamban yang memadai menjadi usaha solutif untuk menurunkan prevalensi stunting.
Stunting merupakan kondisi kurang gizi kronis yang dapat menyebabkan anak mengalami gangguan perkembangan motorik dan kognitif. Stunting menjadi permasalahan global sektor kesehatan yang harus segera diatasi. Faktor penyebab stunting berasal dari berbagai aspek, mulai dari masalah ekonomi, sosial, hingga faktor lingkungan. Upaya pengentasan angka stunting melibatkan keterlibatan lintas sektoral secara kolaboratif.