Tentunya, sebagian besar dari kita tidak asing dengan filosofi stoicism. Ajaran ini merupakan ajaran filsafat romawi dan yunani kuno yang telah menjadi trend di era modern.
karena ajarannya yang bisa dikatakan relatable dengan masalah-masalah yang ada di era sekarang, mudah untuk para praktisi memahami dan melakukan nya dalam kehidupan sehari-hari.
Namun, karena kesederhanaanya, mudah juga untuk ajaran ini menuai miskonsepsi atau bahkan penyalahgunaan.
Tentang Filsafat Stoic
Pada dasarnya, filosofi ini mengajarkan bahwa semua hal eksternal berada diluar kendali kita. Bahwa yang dapat kita kendalikan hanyalah diri kita sendiri bukan peristiwa tersebut. Ajaran ini ditujukan kepada kita yang sedang mengalami kecemasan berlebih.
Ajaran ini mensugesti kita dengan mengalihkan fokus kita dari opini orang yang negatif untuk tetap tegar menghadapi situasi menggunakan dikotomi kendali. Kita diajarkan untuk tidak memikirkan hal eksternal yang diluar kendali kita, dan hanya fokus terhadap reaksi kita pada masalah-masalah yang kita hadapi.
Filosofi ini cocok untuk diterapkan jika kita ingin merasa tenang dan tetap berfikir serta bertindak rasional dalam menghadapi keputusan.
Baca juga: Cara Menghadapi Quarter Life Crisis Dengan 7 Kutipan Filsuf Stoikisme, Dijamin Manjur!
Sejarah Stoic
Stoicism berawal dari yunani kuno dan dicetuskan oleh filsuf bernama zeno dari citium pada awal abad ke-3 sebelum masehi. Berawal dari keresahannya atas tenggelamnya kapal dagang Zeno dari perjalanan Phoenicia ke Peiraeus, Zeno memulai perjalanan intelektualnya.
Terdampar di Athena, Zeno mengunjungi sebuah toko buku, dia dikenalkan oleh filsuf-filsuf terdahulu yang ternama seperti Socrates. Ajaran-ajaran socrates tentang virtue sangat mempengaruhi kehidupan zeno.
Dan pada akhirnya, Terinspirasi oleh ide-ide Socrates tentang virtue atau kebajikan dan juga sekolah pemikiran Cynicism. Zeno memulai sekolah pemikiran barunya yaitu Stoicism.
Stoicism merupakan mazhab yang mengedepankan kebijakan adalah kebajikan. Sebagai manusia tentunya kita harus menjadi makhluk yang rasional namun juga selaras dengan alam. Bahwa moral absolut adalah mereka yang menyingkirkan emosi negatif, dan fokus kepada pengendalian diri.
Pada era hellenistik, kekaisaran Romawi mulai mengadopsi filosofi athena, yang tentunya dikenalkan oleh filosofi stoicism ini. 3 dari tokoh utama filsafat stoic ini justru datang dari kekaisaran romawi, Epictetus, Seneca dan Marcus Aurelius.
Miskonsepsi Tentang Stoicism
Dari teks diatas tentunya dapat disimpulkan bahwa mazhab ini merupakan hal yang positif dan sangat berguna untuk diterapkan. Lantas, apa yang membuatnya menuai miskonsepsi? apa saja miskonsepsi yang sering di terima dari filosofi ini?
Filsafat Stoic Mengharuskan Kita Memendam Emosi
Salah satu miskonsepsi yang paling lumrah dalam memaknai filsafat stoic adalah memendam emosi. Bahwa kita tidak boleh merasakan perasaan negatif seperti sedih, marah, kecewa dan bahkan kehilangan.
Epictetus, seorang budak dan filsuf stoic ternama di era romawi kuno berkata bahwa “Kematian anakmu harus kamu terima layaknya kematian lain” kutipan ini memberikan sugesti bahwa kita tidak boleh bersedih atas kematian orang tersayang kita, dan tentunya ini merupakan sebuah miskonsepsi.
Kita sebagai manusia tentunya pasti merasakan kehilangan, pasti merasakan kesedihan. kita tidak bisa memaksakan diri kita untuk tetap tegar dalam situasi yang bahkan diluar kendali kita. tidak semua kutipan pemikir stoic dapat diterima secara harafiah.
Mungkin disini Epictetus memberikan pernyataan bahwa kematian itu pasti, namun kita tidak bisa tenggelam dalam kesedihan selamanya, lantas kita harus mengaggap bahwa ini semua bagian dari alam dan kita sebagai manusia harus bisa hidup selaras dengannya.
Menjadi Stoic Adalah Menjadi Acuh tak Acuh Terhadap Sekitar
Sebuah miskonsepsi yang tidak jarang ditemukan dalam mempraktisi stoicism adalah menjadi acuh terhadap sekitar. Pemikiran ini datang dari paradigma bahwa menjadi seorang stoic adalah menjadi acuh pada orang lain ketika kita dihadapkan oleh emosi negatif.
Memang benar, bahwa emosi negatif dan opini negatif orang lain kepada kita harus bisa kita kelola. Namun, bukan berarti kita harus membuang jauh-jauh opini tersebut dan menjadi orang yang acuh, alih-alih justru salah satu kutipan pemikir stoic, Seneca justru memberitahu sebaliknya.
Seneca berkata bahwa “pengabaian adalah sumber ketakutan”. Kutipan tersebut mengindikasikan bahwa menjadi stoic bukanlah menjadi seseorang yang acuh, namun menjadi orang yang terbuka akan opini serta informasi.
Sebagai Stoic Kita Harus Tidak Peduli Terhadap Opini Orang lain
Miskonsepsi ini datang dari stereotip keacuhan stoic, bisa juga datang dari salah satu quote Marcus Aurelius, seorang filsuf stoic sekaligus kaisar Romawi. kutipan dia adalah “semua yang kita dengar adalah opini bukan fakta, dan semua yang kita lihat adalah perspektif bukan kebenaran” atau kutipan lainnya tentang opini dari Marcus Aurelius seperti “itu ada didalam kendalimu untuk tidak beropini akan sesuatu”.
Sekali lagi kutipan-kutipan tersebut tidak bisa dimaknai secara harafiah, dan harus dikaji dengan baik seperti kutipan-kutipan pemikir stoic sebelumnya. mungkin Marcus mengimplikasikan bahwa justru sebagai stoic kita harus terbuka akan opini orang-orang dan mungkin tidak memberikan opini adalah dengan tidak memberikan opini negatif pada orang lain.
Kritik Filsafat Stoic
Sebuah ide filsafat apapun tentunya tidak lepas dari kritik, salah satu kritik terhadap ide stoicism adalah dari filsuf eksistensialis ternama, Friedrich Nietzsche. Nietzsche adalah salah satu pemikir eksistensialis dan psikoanalis yang mengkritik berat filsafat stoicism.
Dalam bukunya, Beyond Good and Evil Nietzsche mengkritik keras para pemikir stoic dan mengaggap bahwa ide stoic menggunakan Indifference atau keacuhan sebagai kekuatan. Nietzshce juga menganggap bahwa stoicism merupakan self tyranny atau tirani atas diri.
Bersembunyi dibalik kata hidup selaras dengan alam, menurut Nietzsche ide stoic justru kontradiktif dengan hal tersebut. memaksakan diri, menipu diri sendiri dan mendoktrinasi moral mereka bahwa kita sebagai manusia harus hidup selaras dengan alam yang malah justru maksud dari mereka adalah “hidup menurut stoic”.