Work Life Balance Gen Z di Dunia Kerja menjadi isu penting di era modern. Generasi Z, atau biasa disebut Gen Z sebutan kelompok yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an. Mereka tumbuh beriringan dengan adanya teknologi digital, sehingga cara pandang mereka terhadap dunia kerja sangat berbeda dari generasi sebelumnya. Seperti yang dijelaskan oleh Rakamin Academy (2023), Gen Z adalah digital natives yang ‘lahir dengan sudah mengenal komputer, gadget, internet’—membentuk mereka sebagai generasi yang melek teknologi dan kreatif .
Jika generasi sebelumnya cenderung menilai kesuksesan dari posisi dan gaji, maka Gen Z lebih mengutamakan keseimbangan hidup. Bagi mereka, work life balance bukan hanya slogan, melainkan kebutuhan nyata. Bahkan, survei Deloitte (2023) menunjukkan bahwa lebih dari 50% Gen Z menolak bekerja di perusahaan yang mengabaikan kesehatan mental dan fleksibilitas kerja.
Work Life Balance Gen Z di Dunia Kerja: Gaya Kerja yang Cocok

Pandemi membuat banyak perubahan dalam hal sistem bekerja. Banyak perusahaan mulai beralih ke sistem kerja hybrid. Pola kerja ini menjadi favorit Gen Z karena dinilai memberikan fleksibilitas waktu. Mereka bisa bekerja dari rumah atau dari mana saja dengan nyaman. Model ini juga menghindarkan mereka dari jam kantor yang kaku, sehingga menciptakan work life balance. Data dari Australia menunjukkan bahwa hanya 12% Gen Z ingin WFH penuh, dan hanya 12% ingin WFO penuh dengan mayoritas sebesar 69% memilih model hybrid (Hatch, 2025)
Generasi Z juga dikenal sebagai generasi yang sangat menghargai kemudahan, kenyamanan, serta fasilitas unik di tempat kerja. Bagi mereka, kantor bukan hanya sekadar ruang untuk bekerja, melainkan juga tempat yang mampu mendukung kesejahteraan fisik dan mental. Fasilitas seperti ruang istirahat, hingga makanan gratis/snack menjadi daya tarik tersendiri yang mendukung work life balance mereka. Survei Jakpat (2024) mencatat bahwa mayoritas Gen Z di Indonesia lebih menyukai tempat kerja yang menawarkan kenyamanan dan suasana kondusif, bahkan lebih tinggi dibanding generasi milenial maupun generasi sebelumnya.
Work Life Balance Gen Z: Cara Kerja yang Tidak Disukai

Walaupun Generasi Z dikenal sebagai kelompok yang cepat beradaptasi, ada sejumlah pola kerja yang tidak sesuai dengan preferensi mereka. Menurut temuan Deloitte (2023) terdapat beberapa model atau gaya kerja yang umumnya dihindari oleh generasi ini, yaitu:
- Atasan yang Micromanagement
Gen Z menilai fleksibilitas sebagai faktor penting. Selain itu, mereka juga mengutamakan kesehatan mental. Gen Z menilai atasan yang terlalu mengawasi detail pekerjaan membuat mereka cepat kehilangan motivasi.Terlebih atasan yang selalu mengharuskan bawahannya aktif 24/7 bahkan di hari libur mereka harus bekerja, itu akan membuat mereka burnout dan merasa work life balance tidak mereka dapatkan. Gen Z lebih menghargai kepercayaan dan ruang untuk berkreasi, meskipun tetap membutuhkan bimbingan.
- Budaya Kerja Toxic
Lingkungan yang penuh gosip, kurangnya apresiasi, atau jam lembur berlebihan yang sangat jauh dari kata work life balance adalah “red flag” bagi Gen Z.Hal tersebut dianggap dapat mempengaruhi kesehatan mental mereka dan banyak dari mereka memilih untuk mencari pekerjaan di lingkungan baru dibandingkan harus bertahan,
- Minim Kesempatan Berkembang
Gen Z termasuk generasi yang memiliki keingintahuan yang tinggi sehingga ingin belajar dan berkembang cepat. Perusahaan yang tidak menyediakan ruang bagi mereka untuk mengikuti training, mentoring, atau jalur karir yang jelas akan sulit mempertahankan mereka untuk waktu yang lama.
- Overload Meeting
Terlalu banyak mengadakan rapat tanpa hasil konkret adalah hal yang paling dihindari Gen Z. Mereka lebih memilih meeting dengan durasi yang singkat, jelas, dan produktif. Mereka lebih mementingkan efisiensi waktu dibandingkan berdebat dan strategy panjang.
Kesimpulan
Work Life Balance Gen Z hadir dengan perspektif baru dalam dunia kerja dengan fleksibilitas, dan kenyamanan menjadi prioritas utama dibandingkan sekadar jabatan atau gaji tinggi. Oleh karena itu mereka lebih memilih lingkungan kerja yang mendukung kesehatan mental, memberi ruang berkembang, serta memungkinkan pengaturan waktu yang fleksibel. Sebaliknya, budaya kerja kaku, micromanagement, hingga minimnya kesempatan berkembang justru dianggap sebagai penghambat produktivitas dan alasan untuk resign. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan yang ingin menarik dan mempertahankan talenta Gen Z perlu beradaptasi dengan kebutuhan mereka, menciptakan sistem kerja modern yang seimbang antara produktivitas, kenyamanan, dan keberlanjutan karier yang tidak melewati batas work life balance.