Thrifting saat ini sedang naik daun bahkan menjadi hobi di kalangan generasi millenial. Di luar negeri bisnis jual beli barang bekas atau yang bisa disebut thrift, secondhand, atau preloved ini sudah mereka lakukan sejak lama. Di Indonesia bisnis ini mulai muncul sejak tahun 2013. Meski masih terbilang baru namun perkembangannya begitu pesat seiring perkembangan teknologi yang menunjang jual-beli barang Thrift ini. Sebenarnya, apa sih arti Thrift itu sendiri?
Secara bahasa, thrift berasal dari Bahasa Inggris yang berarti Penghematan. Thrifting adalah kegiatan penghematan dengan cara membeli barang bekas atau second yang berasal dari barang-barang import atau preloved. Meski pun barang second kondisinya tidak seperti barang baru, tapi kita masih bisa menemukan barang-barang yang kondisinya masih bagus dan layak pakai, bahkan bermerk. Sedangkan Thrift Shop adalah jenis usaha atau wadah menjual barang bekas. Barang yang dijual tidak hanya pakaian, ada juga tas, jam tangan, sepatu, buku, aksesoris dan lainnya. Bagi penggemar barang-barang vintage atau kuno, thrifting solusinya. Thrift Shop selain dapat ditemukan secara langsung (offline) bisa juga lewat online seperti di sosial media dan e-commerce.
Dibalik glorifikasi thrifting, ada sisi buruk dan dampak negatif yang tak bisa disembunyikan. Kok bisa? Apa saja? Berikut ulasannya.
1. Tetap Eksis Ditengah Rumor Ilegal
Meskipun thrifting sedang eksis tidak menutup berbagai rumor yang berhembus, salah satunya bisnis jual beli pakaian impor adalah hal ilegal menurut pemerintah berdasarkan Permendag No 51/M-DAG/PER/7/ tentang larangan impor pakaian bekas dan UU No 7 tahun 2014 tentang perdagangan. Adanya berbagai modus penyelundupan barang impor membuat pemerintah sulit menghentikan bisnis jalur impor karena alasan geografis dan pengawasan.
2. Menyebabkan Gentrifikasi
Gentrifikasi adalah perubahan kaum sosial menengah atas mengonsumsi sumber daya yang ditujukan untuk kaum menengah kebawah. Thrift awalnya memang diperuntukkan kaum menengah kebawah sebagai solusi berbelanja pakaian dengan harga murah. Namun, para kaum menengah atas melihat ini sebagai peluang berinvestasi dan meraih keuntungan. Produk thrift yang awalnya dibanderol dengan harga murah, kini bisa mencapai ratusan ribu bahkan jutaan rupiah. Ini yang membuat kaum menengah kebawah tidak memiliki opsi selain membeli pakaian ori dengan harga agak mahal atau beli pakaian sisa yang kurang layak, karena target pasar digusur oleh para kaum borjuis.
3. Konsumtif
Barang murah dengan kualitas yang lumayan membuat orang tidak sadar telah terjerat hedonisme dan konsumtif. Perilaku ini dapat menimbulkan mengganggu ekosistem dan keseimbangan alam. Dan menimbulkan peningkatan jumlah barang yang terbuang sia-sia